03-18-2025, 05:45 PM
Jejak Karbon Kapal: Tantangan dan Upaya Pengurangan Emisi
Isu mengenai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor perkapalan semakin menjadi sorotan. Seperti halnya industri penerbangan, sektor maritim selama ini tidak termasuk dalam perjanjian iklim global karena sifatnya yang berskala internasional. Sementara itu, Protokol Kyoto 1997 dan Perjanjian Paris 2015 lebih berfokus pada komitmen nasional dalam upaya mengurangi gas rumah kaca. Namun, mengingat bahwa sekitar 80% perdagangan global dilakukan melalui jalur laut, semakin banyak pihak yang menyadari pentingnya menekan emisi CO₂ dari kapal.
Dibandingkan dengan transportasi darat dan udara, pengiriman barang melalui laut sebenarnya lebih ramah lingkungan. Bahkan, industri perkapalan telah lama berkontribusi dalam upaya mengatasi perubahan iklim dengan berbagai inovasi.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengenai gas rumah kaca (IMO GHG Study), emisi karbon dioksida dari kapal diklasifikasikan berdasarkan jenisnya menggunakan metode bottom-up. Pendekatan ini menghitung emisi berdasarkan data operasional kapal, terutama melalui sistem Identifikasi Otomatis (AIS). Data ini memungkinkan peneliti untuk merekonstruksi riwayat aktivitas kapal, termasuk spesifikasinya, konsumsi bahan bakar, dan emisi yang dihasilkan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2012, tiga jenis kapal bertanggung jawab atas sekitar 75% total emisi CO₂ dari sektor perkapalan global. Kapal peti kemas, kapal tanker, dan kapal curah menjadi penyumbang utama, mengingat jumlahnya yang mendominasi armada dunia, dengan sekitar 50.000 kapal beroperasi di perairan internasional. Diperkirakan hingga tahun 2020, tren ini tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Mengawasi ribuan kapal dalam perairan global bukanlah tugas yang mudah. Selain karbon dioksida, berbagai jenis polutan lainnya seperti sulfur oksida (SOₓ), nitrogen oksida (NOₓ), partikel halus, serta limbah cair dari air lambung dan air pemberat juga harus diawasi. Dari semua emisi tersebut, sulfur oksida termasuk yang paling berbahaya. Oleh karena itu, otoritas pengawas pelabuhan atau Port State Control (PSC) telah memberikan perhatian khusus terhadap polutan ini.
Untuk memastikan kepatuhan kapal terhadap regulasi lingkungan, PSC biasanya melakukan inspeksi langsung di pelabuhan dengan mengambil sampel bahan bakar dan mengujinya di laboratorium bersertifikat guna mengetahui kadar sulfur di dalamnya. Cara ini terbukti cukup efektif karena bahan bakar yang digunakan saat berlabuh dapat dengan mudah diperiksa.
Selain metode konvensional, otoritas kini juga mulai bereksperimen dengan teknologi canggih, seperti sensor berbasis drone atau pesawat yang dapat mendeteksi pencemaran dari asap cerobong kapal. Namun, penggunaan teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum diterapkan secara luas.
Meskipun pengujian bahan bakar di pelabuhan bisa memberikan gambaran mengenai emisi kapal saat bersandar, hal itu belum cukup untuk memantau polusi yang terjadi di perairan internasional. Beruntung, dengan menggabungkan data AIS mengenai lokasi dan kecepatan kapal serta informasi teknis seperti daya mesin dan konsumsi bahan bakar, kini dapat diperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai jejak karbon kapal di laut lepas.
Isu mengenai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor perkapalan semakin menjadi sorotan. Seperti halnya industri penerbangan, sektor maritim selama ini tidak termasuk dalam perjanjian iklim global karena sifatnya yang berskala internasional. Sementara itu, Protokol Kyoto 1997 dan Perjanjian Paris 2015 lebih berfokus pada komitmen nasional dalam upaya mengurangi gas rumah kaca. Namun, mengingat bahwa sekitar 80% perdagangan global dilakukan melalui jalur laut, semakin banyak pihak yang menyadari pentingnya menekan emisi CO₂ dari kapal.
Dibandingkan dengan transportasi darat dan udara, pengiriman barang melalui laut sebenarnya lebih ramah lingkungan. Bahkan, industri perkapalan telah lama berkontribusi dalam upaya mengatasi perubahan iklim dengan berbagai inovasi.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO) mengenai gas rumah kaca (IMO GHG Study), emisi karbon dioksida dari kapal diklasifikasikan berdasarkan jenisnya menggunakan metode bottom-up. Pendekatan ini menghitung emisi berdasarkan data operasional kapal, terutama melalui sistem Identifikasi Otomatis (AIS). Data ini memungkinkan peneliti untuk merekonstruksi riwayat aktivitas kapal, termasuk spesifikasinya, konsumsi bahan bakar, dan emisi yang dihasilkan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2012, tiga jenis kapal bertanggung jawab atas sekitar 75% total emisi CO₂ dari sektor perkapalan global. Kapal peti kemas, kapal tanker, dan kapal curah menjadi penyumbang utama, mengingat jumlahnya yang mendominasi armada dunia, dengan sekitar 50.000 kapal beroperasi di perairan internasional. Diperkirakan hingga tahun 2020, tren ini tidak mengalami perubahan yang signifikan.
Mengawasi ribuan kapal dalam perairan global bukanlah tugas yang mudah. Selain karbon dioksida, berbagai jenis polutan lainnya seperti sulfur oksida (SOₓ), nitrogen oksida (NOₓ), partikel halus, serta limbah cair dari air lambung dan air pemberat juga harus diawasi. Dari semua emisi tersebut, sulfur oksida termasuk yang paling berbahaya. Oleh karena itu, otoritas pengawas pelabuhan atau Port State Control (PSC) telah memberikan perhatian khusus terhadap polutan ini.
Untuk memastikan kepatuhan kapal terhadap regulasi lingkungan, PSC biasanya melakukan inspeksi langsung di pelabuhan dengan mengambil sampel bahan bakar dan mengujinya di laboratorium bersertifikat guna mengetahui kadar sulfur di dalamnya. Cara ini terbukti cukup efektif karena bahan bakar yang digunakan saat berlabuh dapat dengan mudah diperiksa.
Selain metode konvensional, otoritas kini juga mulai bereksperimen dengan teknologi canggih, seperti sensor berbasis drone atau pesawat yang dapat mendeteksi pencemaran dari asap cerobong kapal. Namun, penggunaan teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum diterapkan secara luas.
Meskipun pengujian bahan bakar di pelabuhan bisa memberikan gambaran mengenai emisi kapal saat bersandar, hal itu belum cukup untuk memantau polusi yang terjadi di perairan internasional. Beruntung, dengan menggabungkan data AIS mengenai lokasi dan kecepatan kapal serta informasi teknis seperti daya mesin dan konsumsi bahan bakar, kini dapat diperoleh gambaran yang lebih akurat mengenai jejak karbon kapal di laut lepas.